CERPEN : KINANTI MENANTI JANJI

Oleh Amril Taufik Gobel

Rintik gerimis senja selalu membawa lamunanku padamu. Ketika irisan-irisan air itu jatuh dari langit, kau akan senantiasa memandangnya takjub dari balik buram kaca jendela. Menikmatinya. Meresapinya. Tak berkedip.

“Menikmati gerimis senja pada latar senja yang luruh menjelang malam bagai membaca puisimu yang indah dengan pelan dan bibir bergetar. Rasanya melayang. Seperti kupu-kupu bersayap elok yang terbang melintasi beranda, ranting pepohonan, bubungan rumah hingga menuju angkasa. Bebas. Tanpa sedikitpun cemas. Ini akan menjadi salah satu hal indah yang akan selalu kukenang tentangmu,” katamu lirih lantas memaku pandangmu pada mataku yang mendadak rikuh tersipu.

Kamu selalu begitu pandai membuatku merasa berharga.

Senja luruh perlahan bersama gerimis disebuah café, tempat kita biasa bertemu, membincangkan banyak hal. Terutama tentang kita dan hanya kita.

Akupun kembali memilih duduk pada tempat favorit kita dulu, dipojok kiri café dengan kaca jendela berbingkai lebar disisinya. Aku ingat dulu kamu ngotot memilih tempat itu dan kita sempat berdebat panjang.

“Orang-orang yang berlalu lalang di sisi café tempat kita duduk membuatku malu. Kita pindah aja deh, ditengah-tengah atau ditempat yang tak ada jendela lebar disisinya,” tukasku kesal.

Kamu menghela nafas panjang dan menatapku tajam.

“Ini tempat yang paling strategis buat kita Tak peduli apa kata orang. Kenapa mesti malu? Aku menyukai tempat dimana kita bisa menikmati pancaran matahari senja turun perlahan melewati gedung-gedung pencakar langit dengan gurat cahaya merah jingga berpendar-pendar, meresapi warna-warni larik pelangi dibatas cakrawala, memandang percik gerimis yang menetes lembut di permukaan kacanya atau setidaknya menatap pantulan samar wajahmu yang bersembunyi malu-malu disudut sofa ,” katamu meyakinkanku. Ada kilat jenaka kulihat dimatamu saat melontarkan kalimat terakhir.

Tak lama kemudian kamu menggenggam erat tanganku dan berkata, “Yakinlah, aku janji, ini adalah tempat terbaik buat kita. Seperti aku, kamu pasti akan menyukainya”.
Aku tersenyum dan mengangguk. Kamu selalu mampu meyakinkanku bahwa akan selalu menepati setiap janji yang telah diucapkan. Buktinya, tempat ini justru menjadi tempat favoritku, ketika berkunjung kembali ke café tersebut.

Seperti hari ini, senja ini, 1 tahun setelah kamu menyampaikan janji itu.

“1 Tahun lagi, aku akan pulang dan datang menemuimu kembali, disini, di waktu dan tempat yang sama, pokoknya jangan sampai lupa” katamu setahun silam sebelum pergi pada hari, waktu dan tempat yang sama dengan hari ini. .

Dan begitulah, entah kekuatan apa yang menggerakkanku datang disini.

Sebuah waktu yang sesungguhnya sudah sangat aku nantikan sesaat setelah kamu pergi. Aku menandai hari demi hari di kalender mejaku dengan rasa rindu meluap-luap. Membayangkanmu datang menjemputku bak Pangeran menjemput sang puteri menunggang kuda sembrani bersayap cemerlang.

Menunggu saat ini tiba, sungguh sebuah siksaan berat bagiku, terlebih ketika kamu sama sekali tidak memberitahuku kemana akan pergi.

“Kamu akan tahu, nanti setelah aku pulang,” katamu misterius.

Aku menghirup coklat hangat yang aku pesan, sembari menikmati rintik gerimis berderai diseberang jendela kaca. Lalu lintas kendaraan diluar berjalan pelan,sementara di atas trotar sejumlah orang berjalan bergegas menghindari hujan deras yang sebentar lagi diperkirakan akan tiba.

Aku melirik jam. Sebentar lagi, tepatnya, setengah jam lagi kamu akan tiba, menunaikan janji. Rasanya tak sabar menantikannya.

Lamunanku kembali hinggap disuatu petang di pinggir pantai Losari. Kita berdua duduk di pinggiran tembok pantai sembari menyantap hidangan Pisang Eppe’ yang nikmat.

“Kamu tahu, kenapa kita mesti duduk menghadap kedepan, kearah hiruk pikuk arus lalulintas kendaraan yang melewati jalan Penghibur dihadapan Pantai Losari ?” tanyamu tiba-tiba.

Aku mendelik bingung dan menghentikan sejenak kunyahan pisang eppe’ dimulut.
‘Rasanya lebih asyik menatap kedepan menikmati riuh rendah kendaraan yang ramai melewati kawasan ini, kita jadi tidak merasa sendiri” ucapku asal-asalan.
Kamu terkekeh pelan.

“Karena kita adalah keindahan, dan itu harus kita tunjukkan pada mereka,” katamu spontan, penuh keyakinan.

Aku tertawa. “Kita berarti narsis dong!”.

Kamu tersenyum.

“Sekarang, mari kita berbalik, menghadap kearah laut yang ada dibelakang kita,” katamu lembut. Dan kita lalu merubah posisi duduk dengan berbalik sesuai perintahmu. Kebingungan kembali merayapi hatiku.

“Sekarang, kamu coba rasakan apa bedanya dengan yang tadi?” tanyamu lagiAku angkat bahu. Masih belum mengerti.

“Kita telah menjadi bagian dari keindahan semesta, keindahan laut, keindahan pantai Losari, keindahan yang lebih besar,” ujarmu seraya memaku pandang kearah batas cakrawala dimana mentari mulai beranjak ke peraduan. Aku terpaku.

“Dan Kinanti,” lanjutmu lagi,”kita sebut saja mereka, yang ada dibelakang kita itu sebagai para pencari keindahan”.

Aku trenyuh saat kamu kemudian meraih pundakku lalu membaringkan kepalaku dengan lembut ke bahumu. Gelap mulai merata, malam sudah tiba.

Kamu benar-benar begitu pandai membuatku merasa berharga. Menjadi bagian dari keindahan semesta adalah sebuah analogi yang unik dan menggetarkan untuk memaknai hubungan kita selama ini. Aku ingat, malam itu aku membuat puisi tentang Pantai Losari

Kaki langit tempat segala harapan kita berlabuh

Serta kepak camar menyapa cakrawala

Adalah muara segala impian yang telah kita rajut rapi

Bersama desir rindu dan riak semangat

Membangun rumah bersahaja tempat kita senantiasa pulang

Dan pantai Losari tempat kita berpijak kini

Adalah saksi segala keindahan, segala janji yang ditunaikan

Bahwa cinta yang didada kita,

akan selalu ada, tak akan pernah tiada


“Aku bawa puisimu ini ya, untuk mengingatkanku, aku punya rumah untuk pulang disini, pada hatimu,” katamu dengan bibir bergetar saat perpisahan itu tiba. Aku menggigit bibir dan berusaha melepasmu, setegar mungkin. Satu tahun lagi, rasanya seperti seabad bagiku, tanpamu.

“Maaf, mbak Kinanti?” sebuah suara tiba-tiba menyapaku dari arah belakang dan spontan membuyarkan lamunanku. Aku menoleh. Seorang lelaki tegap dengan kumis melintang telah berdiri dihadapanku.

“Saya Budi, teman Andika,” seraya mengulurkan tangannya. “Dia banyak cerita tentangmu”.
Kecemasan tiba-tiba menggayuti hatiku.

“Ada apa dengan Andika, dimana dia?” tukasku tak sabar.Budi menghela nafas panjang. Seperti ada beban berat yang susah diungkapkan.

“Andika mengalami kecelakaan saat kami melakukan ekspedisi perahu cadik melintasi Samudera Pasific. Sesaat sebelum meninggal, ia menitipkan sesuatu padaku. Sebuah surat dan ini, sebuah kotak kecil merah berisi cincin, yang rencananya akan ia sematkan pada jarimu, sesuai janjinya, hari ini,” ujar Budi terbata-bata.

Air mataku jatuh. Kesedihanku datang menyeruak.

Aku memandang kearah jendela kaca disamping tempat kami biasa duduk. Hujan deras sudah turun menggantikan gerimis. Aku berusaha mencari pantulan wajah Andika di kaca yang kian buram itu. Berharap ia ada disana, menyematkan cincin itu pada jariku secara langsung, hari ini.

Dadaku disesaki keharuan mendalam. Ia menunaikan janjinya. Selalu, seperti biasa.

Dan kini, Andika telah menjadi bagian dari sebuah keindahan samudera, keindahan semesta, keindahan besar dan sejati yang selalu terpatri dalam hatiku..

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *